Hampir dalam seluruh aspek kehidupan menunjukkan bahwa zaman Sultan Iskandar muda merupakan masa kegemilangan Aceh. Dia tidak hanya mampu menyusun dan menetapkan berbagai konsep qanun (undang-undang dan peraturan) yang adil dan universal, tetapi juga telah mampu melaksanakan secara adil dan universal pula. Sebagai seorang yang masih sangat muda menduduki tahta kerajaan (usia 18-19 tahun), kesuksesan Sultan Iskandar Muda sebagai penguasa Kerajaan Aceh Darussalam telah mendapat pengakuan bukan hanya dari rakyatnya, tetapi dari musuh-musuhnya dan bangsa asing di seluruh dunia.
Sultan Iskandar Muda telah berhasil menyatukan seluruh wilayah semenanjung tanah Melayu di bawah panji kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam. Dia juga telah berhasil menjalin hubungan diplomasi perdagangan dengan berbagai bangsa Asing, sehingga secara internasional Aceh tidak hanya dikenal sebagai sebuah negeri yang sangat kaya dengan berbagai sumber daya a!amnya, tetapi kekayaan itu benar-benar dapat dinikmati secara bersama oleh rakyatnya.
Dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan, dia telah menempatkan para ulama dan kaum cerdik pandai pada posisi yang paling mulia dan istimewa. Sehingga pada masa pemerintahannya, Kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dan tamaddun di Asia Tenggara yang paling banyak dikunjungi oleh para kaum pelajar dari seluruh dunia. Selama lebih kurang 30 tahun masa pemerintahannya, yaitu (1606 - 1636 M) dia telah berhasil membawa Kerajaan Aceh Darussalam ke atas puncak kejayaannya, hingga mencapai peringkat kelima di antara kerajaan Islam terbesar di dunia.
Silsilah, Kelahiran dan Masa Kecil Sultan Iskandar Muda
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti mengenai tahun kelahiran Sultan Iskandar Muda. Namun dari hasil identifikasi atas beberapa sumber yang ada menegaskan bahwa dia lahir sekitar tahun 1583. (Denys Lombard, 1991: 225-226). Ibunya keturunan keluarga Raja Darul Kamal (Malaka) bernama Puteri Raja Indra Bangsa, yang juga dikenal dengan nama Paduka Syah Alam, Puteri Sultan Alaidin Ri’ayat Syah (1589-1604). Sultan Ri’ayat Syah adalah putera Sultan Firman Syah bin Sultan Inayat Syah. ( Hikayat Aceh : par. 16, 72). Sedangkan ayahnya bernama Sultan Alauddin Mansur Syah putera dari Sultan Abdul Jalil bin Sultan ’Alaiddin Ri’ayat Syah Al-Kahhar (1539-1571). Pada kurun-kurun berikutnya keturunan ayahnya inilah yang dikenal sebagai keturunan Raja Makota Alam I (Denys Lombard: 1991, 223). Dengan demikian berarti Sultan Iskandar Muda merupakan percampuran darah Malaka dan Aceh.
Pada masa kecilnya, Iskandar Muda yang dijuluki Raja Zainal atau Raja Silan ini sangat senang bermain boneka kuda, gajah dan biri-biri yang dapat bertarung yang terbuat dari emas. (Hikayat Aceh : par.124, 119). Selain itu dia juga ikut bermain panta, (Hikayat Aceh : par.124, 120) dan kalau pada malam hari ketika bulan terang dia mengadakan permainan meuraja-raja bersama teman-temannya (Zainuddin, 1957: 17).
Pendidikan Sultan Iskandar Muda
Sultan lskandar Muda yang pada masa bayinya sering disebut Tun Pangkat Darma Wangsa, (Zainuddin: 1957, 21) dibesarkan dalam lingkungan keluarga istana, sehinga sejak masa kecilnya telah mengetahui bagaimana seluk beluk kehidupan adat dan tata kerama dalam istana, baik dalam hal sopan santun antar anggota keluarga raja maupun dalam urusan penyambutan tamu dan lain sebaginya. Sejak usia antara 4 dan 5 tahun kepadanya telah diajarkan berbagai ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan Agama dengan cara menghadirkan ulama sebagai gurunya. Selain dia, ke dalam istana diikutsertakan juga teman-temannya yang lain untuk belajar bersama. (Zainuddin, 1957: 20)
Ketika usianya mencapai baligh, ayahnya menyerahkan Iskandar Muda bersama beberapa orang budak pengiringnya kepada Teungku Di Bitai (salah seorang ulama turunan Arab dari Baitul Mukadis yang sangat menguasai ilmu falak dan ilmu firasat). Dari ulama ini secara khusus dia mempelajari ilmu nahu. Melihat kecerdasan, ketekunan, kemuliaan sikap dan tingkah laku lskandar Muda telah menjadikannya sebagai salah seorang murid yang paling disayangi oleh Teungku Di Bitai. Karena itu, pada suatu hari gurunya diilhami untuk memberikan satu nama kebesaran kepadanya dengan gelar Tun Pangkat Peurkasa Syah (Zainuddin, 1957: 27).
Semenjak saat itu, panggilan Peurkasa terhadap Iskandar Muda yang masih muda belia semakin populer bukan hanya di kalangan istana saja tetapi julukan itu semakin terkenal hingga ke seluruh pelosok negeri. Dalam kurun-kurun berikutnya, ayahnya Sultan Mansursyah mulai menerima kedatangan ulama-ulama terkenal dari Mekah, di antaranya Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar dan Sekh Muhammad Jamani yang keduanya ahli dalam bidang ilmu fiqah, tasawuf dan ilmu falak.
Selanjutnya hadir lagi seorang ulama yang sangat termasyhur dari Gujarat yakni Sekh Muhammad Djailani bin Hasan Ar-Raniry. Ketiga orang ulama ini telah banyak berjasa dalam mengajarkan dan mengilhami wawasan intelektual Iskandar Muda. Selain itu, dia juga rajin mendatangi dan bertanya kepada ulama-ulama lain yang berada di luar istana untuk mempejarai berbagai ilmu yang belum diketahuinya. Pada saat menjelang dewasa, karena Iskandar Muda memiliki keberanian yang luar biasa dibanding orang lain dalam hal menegakkan kebenaran, maka kawan-kawannya dari barisan pemuda memberinya gelar Peurkasa Alam yang belakangan juga dikenal dengan sebutan Makota (Meukuta) Alam.
Penobatan Sultan Iskandar Muda
Menurut sumber-sumber Eropa yang merujuk pada peristiwa gagalnya penyerbuan Don Martin Affonso di Aceh, menyebutkan bahwa Iskandar Muda dinobatkan sebagai Sultan pada tanggal 29 Juni 1606. Akan tetapi dalam naskah Bustanus-Salatin ditemukan keterangan bahwa dia diangkat sebagai Sultan pada 6 Zulhijjah 1015 H (awal April 1607 M). (Bustanus-Salatin II, XIII, 23).
Tindakan pertama Sultan Iskandar Muda dalam mengawali karirnya adalah mengamankan golongan yang terdiri dari orang kaya yang sejak tahun 1604 telah bersekongkol menjadi oposisinya istana. Dia menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan segala tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh para oposisi yang tidak mau memberikan dukungan dalam upaya menegakkan kebenaran. Di sisi lain, para generasi muda yang sebagian besar merupakan sahabat dan teman-temannya waktu kecil yang pernah belajar mengaji bersama memberikan dukungan yang sangat luar biasa. Itulah sebabnya mengapa kemudian dia disebut sebagai Sultan Iskandar Muda, tidak lain karena dia mempunyai pendukung utama dan bala tentara dari orang-orang muda atau orang-orang yang memiliki semangat muda.
Kebijakan Sultan Iskandar Muda dalam Menegakkan Hukum dan Adat
Karena rakyat Aceh terdiri dan beberapa kaum dan sukee, maka Sultan Iskandar Muda mengangkat dan menetapkan pimpinan adat pada masing-masing kelompok sukee yang ada. Selain untuk menyatukan mereka pengangkatan pimpinan adat ini juga dimaksudkan untuk mempermudah penerapan berbagai program pemerintahannya. Untuk menjamin langgengnya kerajaan Aceh di bawah panji-panji persatuan, kedamaian dan kemakmuran Sultan Iskandar Muda kemudian menyusun tata negara atas empat bagian. (Ismuha: 1988, 155)
1. Segala persoalan yang menyangkut tentang adat maka kebijaksanaannya diserahkan
kepada sultan, penasehat dan orang-orang besarnya.
2. Segala urusan hukum diserahkan kepada para ulama yang pada masa Syekh
Nuruddin Ar-Raniry diangkat sebagai qadhi malikuladil.
3. Urusan qanun, majelis adab, sopan santun dan tertib dalarn pergaulan hidup
bermasyarakat, termasuk mengenai berbagai upacara adat diserahkan kepada
kebijaksanaan Maharani (Putroe Phang).
4. Sedangkan urusan reusam (pertahanan dan keamanan) berada dalam kekuasaan
Panglima Kaum atau Bentara pada masing-masing daerah.
Segala kebijakan mengenai adat, hukum, qanun dan reusam itu kemudian tertuang dalam sebuah hadih maja yang hingga saat ini masih dikenal dalam masyarakat Aceh yang berbunyi :
Adat bak poteu meureuhum,
hukom bak syiah kuala
Meujeuleueih kanun bak putroe phang,
reusam bak bentara (laksamana).
Setelah menetapkan orang-orang yang bertanggungjawab mengatur masingmasing urusan tersebut, Sultan Iskandar Muda kemudian menyusun dan mengeluarkan berbagai qanun yang akan dijakdikan pegangan. Mengenai aturan yang menentukan martabat, hak dan kewajian segala Uleebalang serta pembesar kerajaan tertuang dalam sebuah qanun yang dikenal dengan adat meukota alam.
Menurut naskah Adat Aceh, dalam menyusun qanun tersebut Sultan Iskandar Muda melibatkan para Syaikhul-Islam, Orang Kaya Sri Maharaja Lela, Penghulu Karkun Raja Setia Muda, Katibul Muluk Sri Indra Suara dan Sri Indra Muda beserta para perwiraperwira Balai Besar untuk membuat dan menyusun qanun (peraturan) yang sesuai dengan tatakerama dan maklumat Raja. Di dalamnya memuat sebanyak sembilan fasal. Pada bagian pertama sangat jelas menggambarkan watak kewibawaan Sultan sebagai penguasa, di mana di dalamnya menguraikan tentang perintah segala raja raja.
Selain itu, qanun yang dibuat pada masa Sultan Iskandar Muda juga dapat ditemukan dalam beberapa bagian dari naskah Tajus-Salatin yang ditulis oleh Bukhari Al- Jauhari. Bahkan beberapa bab dalam naskah ini secara khusus membahas secara manusiawi tentang bagaimana hubungan yang baik antara raja dengan rakyat termasuk masyarakat non muslim dan begitu juga sebaliknya. Dalam naskah ini juga ditetapkan mengenai pegawai raja, pemimpin perang, penghulu dan uleebalang (Tajus-Salatin: 16). Dalam naskah Mahkota Raja-raja pada bagian ketiga secara khusus membahas tentang adat majelis raja-raja.
Dari beberapa naskah kuno peninggalan abad ke-16 menunjukan bahwa Sultan Iskandar Muda memiliki kebijakan yang luar biasa dalam menetapkan berbagai qanun (peraturan) yang menjamin kelangsungan hidup kerajaan Aceh. Sultan Iskandar Muda juga menetapkan rencong sebagai lambang kehormatan dan cap sebagai lambang kekuasaan tertinggi. Tanpa rencong berarti tidak ada pegawai yang mengaku bertugas menjalankan perintah raja. Setiap pegawai istana yang bertugas menyambut tamu asing wajib mengenakan rencong.
Demikian pula halnya sebuah qanun (peraturan) yang dikeluarkan oleh raja akan mempunyai kekuatan setelah dibubuhi cap, tanpa cap peraturan itu tidak dapat dijadikan pegangan. Salah satu bentuk cap yang masih tersisa dari masa Kesultanan Aceh adalah Cap Sikureueng (cap sembilan). Pada lingkaran bagian tengah dari cap ini tertera nama raja yang sedang memerintah, sedangkan pada bagian sekeliling pinggirnya tertera nama delapan orang pendahulunya yang besar-besar. (Anomimous, 1988: i).
Selain itu, Sultan Iskandar Muda juga menetapkan qanun seuneubok lada yang memuat tentang berbagai peraturan mengenai pertanian dan peternakan. (Zainuddin. 1957: 103). Dalam hal ini Sultan Iskandar Muda menetapkan beberapa sumber pajak penghasilan sebagai pemasukan devisa kerajaan. Sebagian besar kekayaan negara pada masanya berasal dari hasil sumber daya alam, baik berupa pajak sumbangan hasil pertanian, perikanan maupun dari hasil tambang.
Hubungan Persahabatan dengan Dunia Luar
Sultan Iskandar Muda juga telah menjalin hubungan perdagangan dengan bangsabangsa asing. Berdasarkan laporan yang dibuat sesudah ekspedisi sida-sida Cheng Ho ke lautan Selatan mengungkapkan bahwa kehadiran kapal-kapal Cina di Aceh merupakan bukti nyata bahwa bangsa Cina telah menjadikan daerah Aceh sebagai pemasok rempahrempah. (Groeneveldt, 1960: 85-88). Dalam sebuah peta laut Cina sebelum abad 17 ditemukan petunjuk jalan dari Banten ke Aceh melalui Barat Sumatera, juga melalui jalur-jalur lintas dari Aceh ke Malaka dan ke India. Selain itu, sebagai bukti yang kuat tentang hubungan Cina dan Aceh dapat dilihat dari keberadaan Lonceng Cakra Donya yang hingga saat terdapat di Museum Negeri Aceh. Lonceng ini dihadiahkan oleh Kaisar Cina kepada Sultan Aceh dalam rangka mengikat tali persahabatan. (Anonimous, 1988: i).
Hubungan dagang Aceh dengan bangsa Siam sudah tercatat sejak masa kerajaan Pasai tahun 1520. Hubungan dagang tersebut semakin meningkat pada masa kerajaan Aceh Darussalam di bawah Sultan Iskandar Muda. (Adat Aceh, 164b). Dalam Hikayat Aceh sarrga jelas disebutkan tentang adanya utusan-utusan dagang yang berasal dari Siam, Cina dan Campa pada masa Sultan Iskandar Muda. (Hikayat Aceh, Par. 214 - 223) dan (G.Coedes, Etats hindouises, 1964: 390).
Selain itu, saudagar India pada masa Sultan Iskandar Muda merupakan salah satu bangsa yang memegang bagian terbesar dari dunia perdagangan di Aceh. (Lancaster, 1940: 90). Selain membeli berbagai jenis barang berupa tembikar dan rempah-rempah, para saudagar India (dari Gujarat dan Malabar) itu juga membawa barang dagangan berupa bandela bandela kapas, cita, ampiun dan guci besar yang berisi minyak susu lembu yang kesemuanya sangat digemari orang Aceh pada masa itu. (Dampier, 1723: 178).
Hubungan persahabatan dengan bangsa Eropa yang dalam sebagian besar naskah Melayu menyebut mereka bangsa Peringgi dapat dilihat dari adanya surat-surat raja Inggris, Penguasa Perancis, Portugis dan Belanda. (Djajadiningrat, CritOv, 170) Sultan Iskandar Muda menjalin hubungan persahabatan dengan bangsa Peringgi tersebut bukan hanya dalam bidang perdagangan saja, tetapi juga mencakup bidang sosial, politik dan keamanan.
Selain itu, secara khusus Sultan Iskandar Muda juga menjalin hubungan dengan Kerajaan Turki melalui sepucuk surat persahabatan yang ditulis oleh Kadhi Malikul Adil Syekh Nuruddin Ar-Raniry. Surat persahabatan itu selanjutnya disampaikan oleh utusan rombongan Aceh yang dikepalai oleh Pangiima Nyak Dum. (Zainuddin, 1957: 114-121)
Sejak saat itu antara Kerajaan Aceh dan Turki terjalin hubungan yang sangat harmonis, bukan hanya dalam bidang perdagangan saja, tetapi juga dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Penaklukan Malaka I
Setelah berhasil menyatukan kekuatan wilayah Pase (Sumatera), Sultan Iskandar Muda kembali merangcang sebuah usaha penyerangan terhadap wilayah yang terletak di semenanjung tanah Melayu. Wilayah ini dulunya sekitas tahun 1540-1586 masih merupakan wilayah kekuasaan Aceh. Namun karena sebuah hasutan, akhirnya wilayah ini jatuh ke tangan penjajah Portugis. Oleh karena itu, pada tahun 1616 Sultan Iskandar Muda bersama para pembesar Kerajaan Aceh menyusun suatu rencana penyerangan untuk merebut kembali wilayah ini.
Pada tahun 1618, Kedah dapat diambil alih oleh Kerajaan Aceh dari tangan penjajah Portugis. Kemudian pada tahun 1619 ditaklukkan pula wilayah Perak dan Pahang. Dengan demikian, wilayah kekuasaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda telah rneliputi hampir seluruh Sumatera dan Malaka, meskipun sebagian kecil kota Malaka masih diduduki bangsa Portugis, seperti kota La Pamosa yang didirikan oleh Admiral Alfonso d'Albuquerque sekitar tahun 1511. (Zainuddin, 1957: 128-132). Salah satu penyebab sulitnya menaklukan benteng Potugis yang terdapat dalam kota La Pamosa di Malaka karena Sultan Djohor campur tangan membantu Portugis. Selain dia telah mengingkari janji kesetiaannya terhadap Aceh, dia juga melupakan kalau dirinya masih mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan keluarga Sultan Aceh semenjak Sultan Alauddin Mansursyah. Oleh karena itu, pasukan yang diperintahkan Sultan Iskandar Muda dengan tekad yang luar biasa akhirnya berhasil mengepung daerah itu dan menangkap Sultan Johor bersama beberapa orang keluarga dekatnya.
Ketika pasukan Aceh sedang membawa tawanan perang untuk kembali ke Aceh, Portugis rnendapat bantuan, sehingga perang sengit antara kedua belah pihak tidak dapat dihindari. Kapal-kapal perang Eropa dan Gua mulai rnenyerang dari segala arah membuat posisi armada Aceh semakin lemah. Menghadapi penyerangan Portugis yang demikian besar, kapal-kapal armada Aceh terpaksa mengundurkan diri ke beberapa bagian pesisir dan muara di Bintan, kampar. Riau dan Benggalis. Sementara itu, bentengbenteng Aceh di Malaka yang telah berhasil diduduki sebelumnya masih tetap rnampu dikuasai.
Menghadapi kekalahan itu, selanjutnya pasukan Aceh terpaksa menghentikan perang atas permintaan Gubernur Portugis yang berkuasa di Malaka pada saat itu. Tidak berapa lama berselang, Laksamana Aceh dan Gubemur Portugis di panggil untuk menghadap kepala perang Portugis guna mengadakan perundingan di atas kapal perang besar Portugis. Dengan berkedok perundingan, ternyata kepala perang Portugis mencoba membuat tipuan baru dengan cara melarikan Laksamana Aceh dengan beberapa orang perwiranya yang telah rnemasuki kapal itu tanpa tawar menawar.
Laksamana Aceh dengan beberapa orang perwiranya yang telah berhasil dibawa kabur dengan kapal itu tidak dapat menerima penghinaan yang demikian. Oleh karena itu, dengan keberanian yang luar biasa dia membuat perlawanan di atas kapal Portugis itu hingga akhirnya dia tewas. Kekalahan yang harus diterima kerajaan Aceh atas penjajah Portugis di Malaka ini tidak lain disebabkan oleh adanya campur tangan Sultan Johor dalam membantu penjajah. Sementara itu, Aceh masih ragu-ragu dalam menyerang kerajaan Johor, karena masih merasa adanya ikatan tali persaudaraan yang kuat dengan mereka. Namun demikian, kekalahan ini tidak membuat semangat rakyat Aceh patah.
Penaklukan Malaka II
Pada tahun 1615 setelah selesai menyusun dan menetapkan berbagai qanun dalam negeri Asahan, Sultan lskandar Muda kemudian mengatur strategi baru untuk menaklukkkan kembali negeri Malaka. Semua kekuatan armada perang Aceh diperintahkan berlayar menuju Semenanjung dengan berlabuh di Pulau Langkawi lalu menutup kuala Perlis, kuala Kedah, kuala Muda, kuala Meurbok, teluk Pulau Penang, Pulau Jerjak dan menutup kuala Peru. Demikian pula kuala-kuala besar, seperti kuala Karau, kuala Tengah, kuala Kelumpang, pulau Pangkur, teluk Tanjung Burong, kuala Bernam, kuala Perak, kuala Selangor sampai ke teluk Anson.
Begitu juga armada Aceh yang pada saat itu masih berada di teluk Tanjung Balai diperintahkan berlayar menuju Malaka dan berlabuh di pulau Kelang, Tanjung Tuan, kuala Tinggi, Tanjung Kling dan menutup kuala Melaka dan kuala Muar. Satu pasukan kapal perang lain disuruh berlabuh di muka kuala Sarang Buaya, Batu Pahat, kuala Peniti, Pulau Kutub, Tanjung Prai-prai dan menutup kuala Johor Baru untuk selanjutnya masuk ke
sungai Johor lalu mendarat di Tumasik (Singapura). Pasukan lainnya diperintahkan menutup kuala-kuala di Pulau Batam dan sekitarnya. Demikianlah strategi kekuatan pasukan anmada laut Acen yang diperintahkan oleh Sultan Iskandar Muda untuk mengepung negeri Johor, Pahang dan Malaka dari segala arah.
Daerah yang pertama diserang dan berhasil ditaklukkan adalah Johor. Walaupun Sultan Johor tidak dapat ditawan karena berhasil melarikan diri ke Tambilahan, namun Lingga (Ibukota) kerajaan Johor yang baru akhirnya jatuh ke tangan pasukan Aceh. Sedangkan salah seorang anak Sultan Johor berhasil ditangkap dan dibawa menghadap kepada Sultan Iskandar Muda. Dia kemudian diangkat oleh Sultan Iskandar Muda untuk menjadi Sultan yang baru di negeri Johor dengan dibantu oleh beberapa uleebalang dan ulama Aceh. (Zainuddin: 1957, 154-155). Sementara ayahnya dikabarkan sakit selama dalam pelariannya dan akhirnya meniggal di Tambilahan. Dengan takluknya negeri Johor maka kedudukan bangsa penjajah Portugis di seluruh semenanjung Malaka menjadi semakin lemah. Oleh karena itu, Aceh kemudian dengan sangat mudah dapat rnenaklukkan pula negeri Pahang, Kedah dan Perak. Bahkan sebagian besar para pembesar dan rakyat di sana yang sebelumnya masih memihak dan mendukung Portugis, sejak saat itu mulai berbalik memusuhi mereka.
Penutup
Dilihat dari sepanjang zaman perjalanan sejarah Aceh, hampir dari semua aspek kehidupan menunjukkan bahwa zaman Sultan Iskandar Muda-lah merupakan masa kejayaan Aceh. Dia tidak hanya mampu menyusun dan menetapkan berbagai konsep qanun (undang-undang dan peraturan) yang adil dan universal, tetapi juga mampu melaksanakannya secara adil dan universal pula. Sebagai seorang yang masih sangat muda menduduki tahta kerajaan (usia 18-19 tahun), kesuksesan Sultan Iskandar Muda sebagai penguasa Kerajaan Aceh Darussalam telah mendapat pengakuan bukan hanyadari rakyatnya, tetapi juga dari musuh-musuhnya dan bangsa asing di seluruh dunia.
Sultan lskandar Muda telah berhasil mengatur seluruh aspek kehidupan sedemikian rupa dalam Kerajaan Aceh Darussalarn. Dia telah berhasil menyatukan seluruh wilayah semenanjung tanah Melayu di bawah panji kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam bidang ekonomi, dia telah berhasil menjalin hubungan diplomasi perdagangan dengan berbagai bangsa Asing, sehingga secara internasional Aceh tidak hanya dikenal sebagai sebuah negeri yang kaya dengan berbagai sumber daya alam saja, tetapi kekayaan alam itu benar-benar dapat dinikmati secara bersama oleh rakyatnya. Demikian juga dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan, dia telah menempatkan para ulama dan kaum cerdik pandai pada posisi yang paling mulia dan istimewa. Sehingga Kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dan tamaddun di Asia Tenggara yang paling banyak dikunjungi oleh para kaum pelajar dari seluruh dunia.
Oleh karena itu, para pembesar kerajaan bersama seluruh rakyat Aceh akhirnya sepakat memberikan sebuah gelar kehormatan Mahkota Alam kepadanya. Dengan demikian, dia mempunyai nama Iengkap Paduka Seri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Selama lebih kurang 30 tahun, yaitu (1606 - 1636 M), dia telah berhasil membawa Kerajaan Aceh Darussalam ke atas puncak kejayaannya, hingga mencapai peringkat kelima di antara kerajaan Islam terbesar di dunia, yakni setelah kerajaan Islam Maroko, Isfahan, Persia dan Agra.
Sultan Iskandar Muda wafat pada tahun 1636 M dan makamnya terletak dalam komplek Kandang Mas yang telah pernah dihancurkan Belanda. Yang ada sekarang ini merupakan duplikatnya hasil petunjuk Pocut Meurah isteri Sultan Mahmudsyah. Dia masih rnengingat letak Makam Sultan lskandar Muda, karena sebelum dihancurkan Belanda dia sering berziarah ke sana sambil menghitung langkahnya sebanyak 44 langkah dari pinggir Krueng Daroy.
Untuk mengenang kebesaran dan jasa-jasanya, Pemer-intah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 077/TK/Tahun 1993 tanggal 14 September 1993 telah mengangkat Sultan lskandar Muda sebagai Pahlawan Nasional. (Anonimous, 1995: 3).
sumber : www.fatarana.wordpress.com
Komentar
Posting Komentar